Inflasi selama hanya 5-10%, tidak perlu dianggap sebagai musuh atau sesuatu yang berbahaya yang harus dijinakkan dengan cara memperbesar pajak dan memperbanyak iuran dengan tujuan menghancurkan daya beli agar inflasi roboh ke 2%.
Inflasi selama bukan hiperinflasi, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, justru itu tanda ekonomi sedang naik.
Contoh gampang begini, harga siomai di Pantai Indah Kapuk bisa Rp 20 ribu satu biji, artinya jika anda membeli satu piring siomai dengan isi 5 biji, maka anda harus merogoh kocek Rp 100.000. Mungkin di daerah lain, siomay dengan kualitas sama hanya Rp 5.000 sebiji, sehingga jika anda membeli satu piring siomai yang berisi 5 biji dengan kualitas siomai yang sama, maka anda hanya cukup merogoh kocek Rp 25.000.
Nah di sinilah pertanyaannya timbul. Mengapa di PIK, harga siomai satu piring berisi 5 biji itu bisa naik sampai 4x lipat atau 300%? Kenapa bisa terjadi inflasi 300% di PIK? Simpel, jawabannya karena di PIK banyak sekali orang super kaya tinggal di sana! Ketika di satu daerah, orang-orangnya ekonominya makmur, maka sudah pasti terjadi inflasi. Tidak mungkin jika di satu daerah dipenuhi oleh orang-orang yang ekonominya sedang makmur, tidak terjadi inflasi. Tidak mungkin.
Jadi inflasi ada proses natural dari sebuah ekonomi yang menggeliat. Ketika inflasi terjadi di sebuah daerah, maka itu sebenarnya itu adalah tanda bahwa ekonomi di daerah itu sedang menggeliat. Balik ke kasus Pantai Indah Kapuk tadi, ketika terjadi inflasi sebesar 300% untuk harga siomay di sana, jangan sampai disalahpahami bahwa orang-orang di PIK tersiksa dan keberatan dengan harga siomay yang bisa tembus rp 100.000 untuk 5 biji. Sama sekali jangan ditafsir demikian! Meskipun harga siomai di PIK itu Rp 100.000 satu piring, tetapi orang-orang sana tidak keberatan dengan harga segitu. Jadi jangan dianggap bahwa orang-orang di PIK tersiksa dan keberatan dengan harga siomay semahal itu. Jadi, pemerintah tidak perlu repot-repot menaikkan pajak khusus berlipat-lipat untuk warga PIK dan memperbanyak iuran khusus hanya agar daya beli warga PIK jatuh sehingga harga siomai ke rp 25.000 semangkok.
Masalah itu akan timbul ketika pemerintah dalam hal ini salah menafsirkan inflasi yang terjadi di PIK itu. Pemerintah menafsirkan inflasi yang 300% di PIK itu sebagai sesuatu yang berbahaya, sedangkan masyarakat di sana sama sekali tidak keberatan dengan harga siomai rp 100 ribu itu. Justru, UMKM di daerah PIK itu jadi senang, karena mereka bisa menjual harga siomai 4x lipat lebih mahal daripada di daerah lain dan jualan mereka tetap laris manis di PIK. Itu justru menandakan bahwa inflasi yang terjadi di PIK itu malahan adalah sesuatu yang sangat positif karena ekonomi di sana sedang booming dan UMKM di sana sangat senang.
Masalah timbul dan akan jadi sangat ironis jika pemerintah justru menganggap itu sesuatu yang berbahaya yang harus segera dijinakkan dengan memperbanyak pajak dan iuran wajib. Ketika pemerintah salah menafsirkan inflasi tersebut, maka dengan segera pemerintah pasti akan menggelontorkan berbagai macam kebijakan seperti kenaikan pajak yang gila-gilaan untuk warga PIK hanya dengan tujuan agar siomai yang sepiring rp 100 ribu bisa kembali ke rp 25 ribu sama seperti daerah lain. Ketika pemerintah melakukan ini, maka warga PIK di situ justru malah tertekan dan hancur daya belinya karena pajak yang besar. UMKM yang menjual makanan di situ juga jadi bingung dan dirugikan, kok tiba-tiba daya belinya lesu? Kok biasanya saya jual siomay 100 ribu laku keras, kok sekarang dijual rp 50 ribu saja sepiring susah laku? UMKM di sana akan bingung dan akan terus menurunkan harga karena daya beli yang hancur dan akhirnya pedagang siomai itu harus menurunkan harga sampai ke rp 25 ribu sepiring, barulah penjualannya bisa normal. Memang betul, inflasi akan turun dengan cara seperti ini, tapi caranya menurut saya keliru karena yang dilakukan adalah menghancurkan daya beli. Yang lebih ironis lagi sebenarnya adalah ketika pemerintah berhasil menurunkan harga siomai ke rp 25 ribu di PIK, pemerintah mengklaim itu sebagai prestasinya menurunkan inflasi padahal kalau anda paham cerita ini, ini bukanlah sebuah prestasi, tapi sebuah kesalahan. Warga PIK sama sekali tidak membutuhkan intevensi pemerintah untuk menurunkan harga siomai ke rp 25 ribu karena sejak awal mereka tidak pernah mempermasalahkan harga siomai yang rp 100 ribu itu. Demikian juga, UMKM di sana juga pasti akan marah besar karena daya beli turun, keuntungan mereka berkurang, dan dagangan mereka tidak laku. Sangat ironis sebenarnya jika yang berkepentingan menganggap ini sebagai sebuah prestasi
Analogi harga siomai di PIK di atas itulah yang sebenarnya menurut saya terjadi sekarang di Indonesia ini. Deflasi 5 bulan berturut-turut ini terjadi menurut saya karena salah paham soal inflasi. Menghancurkan inflasi sampai ke 2% atau malah sampai deflasi dengan cara menghancurkan daya beli itu jelas bukanlah sebah prestasi, tetapi menurut saya itu sebuah kekeliruan. Menurut Robert Pollin, seorang profesor ekonomi terkemuka di Universitas Massachusetts Amherst sekaligus direktur Political Economy Research Institute (PERI), [1] dan juga Hanae Bouazza, seorang siswa PhD ekonomi di Universitas Massachusetts Amherst,[2] justru ekonomi sebuah negara akan tumbuh secara optimal ketika inflasi ada di range minimal 4%-5%, bahkan paling optimal ketika ada di range 5%-10%, bukan 2%.[3] Menurut mereka, justru target inflasi 2% malah merusak pertumbuhan ekonomi.[4]
Sumber Gambar: "Two Percent Inflation Targeting Harms Growth (Menargetkan Inflasi Dua Persen Merusak Pertumbuhan Ekonomi)"
Berdasarkan gambar di atas yang merupakan hasil penelitian Robert Pollin dari dengan mengambil sampel pertumbuhan GDP berbagai negara dari tahun 1960-2021, di situ bisa terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi paling maksimal terjadi ketika inflasi ada di angka 5%-10%, sedangkan jika memang terlalu takut dengan inflasi 5%-10%, setidaknya angka inflasi terbaik ada di angka 2.5%-5% yang menghasilkan pertumbuhan rata-rata setidaknya 4.1%. Justru kinerja terburuk pertumbuhan ekonomi sebuah negara ketika inflasi berada di range 2% atau lebih rendah dari 2%.
Inilah yang dimaksudkan salah paham soal inflasi. Ketika inflasi yang sebenarnya bagus tapi ditafsir buruk oleh pemerintah, maka yang terjadi adalah salah langkah yang justru malah menghancurkan daya beli masyarakat. Deflasi 5 bulan beruntun di Indonesia, menurut hemat saya, terjadi karena misinterpretasi soal inflasi. Menurunkan inflasi ke 2% atau bahkan sampai deflasi dengan cara menghancurkan daya beli masyarakat seharusnya itu bukanlah prestasi, tetapi sebuah kesalahan.
Ketika Indonesia inflasinya baru naik sedikit 5%, pemerintah kita langsung bereaksi berlebihan dengan langsung menanggapinya dengan memperbanyak berbagai macam pajak dan iuran termasuk juga dengan menaikkan suku bunga dengan tujuan agar daya beli masyarakat jatuh sehingga inflasi bisa tercapai ke 2%. Langkah ini tidak tepat. Jika anda membaca periode inflasi negara China yang terjadi di zaman Deng Xiaoping pada tahun 1978-1994 di mana saat itu pertumbuhan rata-rata ekonomi China itu 10% per tahun,[5] maka anda boleh perhatikan tingkat inflasi negara China itu pada tahun 1978-1994 itu tinggi semua. Misalnya jika anda membuka data inflasi China tahun 1987-1994 (sayangnya saya tidak menemukan data inflasi dari tahun 1978),[6] maka anda akan menemukan rata-rata inflasi China ada di angka 11% per tahun!!!
Jadi apakah inflasi rata-rata China ada tahun 1987-1994 yang rata-rata 11% per tahun itu berbahaya bagi China?? Tidak sama sekali!! Justru itu menjadi tanda bahwa ekonomi China sedang booming dan meledak. Deng Xiaoping menyadari kesalahpahaman di antara ekonom barat soal inflasi dan Deng Xiaoping berani untuk tidak takut menghadapi inflasi selama bukanlah hiperinflasi. China tidak akan pernah bisa sampai sekarang jika Deng Xiaoping itu saat itu ketakutan dengan inflasi 11% per tahun dan langsung membantai daya beli dengan menaikkan pajak di mana-mana, sudah pasti jika Deng Xiaoping melakukan itu, tidak akan pernah ada China yang sekarang!!
Inilah menurut saya pribadi, sumber kenapa Indonesia bisa deflasi 5 bulan berturut-turut, yaitu sebuah pemahaman yang keliru bahwa inflasi 2% bisa membawa pertumbuhan ekonomi yang dashyat, sedangkan inflasi 5%-10% adalah sesuatu yang berbahaya yang harus dijinakkan sesegera mungkin (sesuatu yang tidak dilakukan oleh Deng Xiaoping).
Jika Indonesia terus menerus menerapkan kebijakan target inflasi harus 2%, maka sangat sulit rasanya jika Indonesia bisa mengejar China dan juga bahkan India (inflasi India saat ini tercatat 5.49% dan pemerintah India tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang harus dijinakkan ke 2%). Bukan hanya sangat sulit, tapi sepertinya itu hanya sekedar mimpi.
CATATAN KAKI
SUMBER:University of Massachusetts Amherst. "Robert Pollin: Co-Director of the Political Economy Research Institute
Distinguished Professor of Economics". University of Massachusetts Amherst. Diakses 18 Oktober 2024.
Political Economy Resarch Institute. "Hanae Bouazza". Political Economy Resarch Institute. Diakses 18 Oktober 2024.
Robert Pollin dan Hanae Bouazza. "Two Percent Inflation Targeting Harms Growth: Research shows that economies perform better at modestly higher inflation rates.". The American Prospect. Diakses 18 Oktober 2024.
Alvin Rabushka. "The Great Tax Cut of China". Hoover Digest. Diakses 18 Oktober 2024.
Macro Trends. "China Inflation Rate 1987-2024". Macro Trends. Diakses 18 Oktober 2024.
ARTIKEL EKONOMI LAINNYA:Salah Paham Soal Inflasi Justru Menghancurkan Pertumbuhan Ekonomi?? Penyebab Deflasi 5 Bulan Berturut-Turut Dikarenakan Salah Paham Soal Inflasi??
Ekonomi Indonesia Di Tahun 2024 Berpotensi Cerah? - Berapa Besar Defisit Anggarannya?
MY SITES:
Facebook Page (Ekonom Jalanan)
Facebook Group (Ekonom Jalanan)
Blog (Ekonomi)
JASA PENULIS LEPAS:
- Artikel original 300 kata: Rp 50.000
- Artikel original 400 kata: Rp 60.000
- Artikel original 500 kata: Rp 70.000
- Artikel original 600 kata: Rp 80.000
- Artikel original 700 kata: Rp 90.000
- Artikel original 800 kata: Rp 100.000
- Artikel original 900 kata: Rp 110.000
- Artikel original 1.000 kata: Rp 120.000
JASA MENERJEMAHKAN ARTIKEL:
- Inggris ke Indonesia: Rp 25.000/ 100 Kata
- Indonesia ke Inggris: Rp 30.000/ 100 Kata
- Mandarin/ China ke Indonesia: Rp 35.000/ 100 Kata
- Indonesia ke Mandarin/ China: Rp 40.000/ 100 Kata
- Mandarin/ China ke Inggris: Rp 40.000/ 100 Kata
- Inggris ke Mandarin/ China: Rp 45.000/ 100 Kata
WHATSAPP: +6289646415350
#ekonomi #deflasi #inflasi #pajak #pertumbuhanekonomi #penulis #penerjemah #blog #blogger #willyamwen
Inflasi selama bukan hiperinflasi, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, justru itu tanda ekonomi sedang naik.
Contoh gampang begini, harga siomai di Pantai Indah Kapuk bisa Rp 20 ribu satu biji, artinya jika anda membeli satu piring siomai dengan isi 5 biji, maka anda harus merogoh kocek Rp 100.000. Mungkin di daerah lain, siomay dengan kualitas sama hanya Rp 5.000 sebiji, sehingga jika anda membeli satu piring siomai yang berisi 5 biji dengan kualitas siomai yang sama, maka anda hanya cukup merogoh kocek Rp 25.000.
Nah di sinilah pertanyaannya timbul. Mengapa di PIK, harga siomai satu piring berisi 5 biji itu bisa naik sampai 4x lipat atau 300%? Kenapa bisa terjadi inflasi 300% di PIK? Simpel, jawabannya karena di PIK banyak sekali orang super kaya tinggal di sana! Ketika di satu daerah, orang-orangnya ekonominya makmur, maka sudah pasti terjadi inflasi. Tidak mungkin jika di satu daerah dipenuhi oleh orang-orang yang ekonominya sedang makmur, tidak terjadi inflasi. Tidak mungkin.
Jadi inflasi ada proses natural dari sebuah ekonomi yang menggeliat. Ketika inflasi terjadi di sebuah daerah, maka itu sebenarnya itu adalah tanda bahwa ekonomi di daerah itu sedang menggeliat. Balik ke kasus Pantai Indah Kapuk tadi, ketika terjadi inflasi sebesar 300% untuk harga siomay di sana, jangan sampai disalahpahami bahwa orang-orang di PIK tersiksa dan keberatan dengan harga siomay yang bisa tembus rp 100.000 untuk 5 biji. Sama sekali jangan ditafsir demikian! Meskipun harga siomai di PIK itu Rp 100.000 satu piring, tetapi orang-orang sana tidak keberatan dengan harga segitu. Jadi jangan dianggap bahwa orang-orang di PIK tersiksa dan keberatan dengan harga siomay semahal itu. Jadi, pemerintah tidak perlu repot-repot menaikkan pajak khusus berlipat-lipat untuk warga PIK dan memperbanyak iuran khusus hanya agar daya beli warga PIK jatuh sehingga harga siomai ke rp 25.000 semangkok.
Masalah itu akan timbul ketika pemerintah dalam hal ini salah menafsirkan inflasi yang terjadi di PIK itu. Pemerintah menafsirkan inflasi yang 300% di PIK itu sebagai sesuatu yang berbahaya, sedangkan masyarakat di sana sama sekali tidak keberatan dengan harga siomai rp 100 ribu itu. Justru, UMKM di daerah PIK itu jadi senang, karena mereka bisa menjual harga siomai 4x lipat lebih mahal daripada di daerah lain dan jualan mereka tetap laris manis di PIK. Itu justru menandakan bahwa inflasi yang terjadi di PIK itu malahan adalah sesuatu yang sangat positif karena ekonomi di sana sedang booming dan UMKM di sana sangat senang.
Masalah timbul dan akan jadi sangat ironis jika pemerintah justru menganggap itu sesuatu yang berbahaya yang harus segera dijinakkan dengan memperbanyak pajak dan iuran wajib. Ketika pemerintah salah menafsirkan inflasi tersebut, maka dengan segera pemerintah pasti akan menggelontorkan berbagai macam kebijakan seperti kenaikan pajak yang gila-gilaan untuk warga PIK hanya dengan tujuan agar siomai yang sepiring rp 100 ribu bisa kembali ke rp 25 ribu sama seperti daerah lain. Ketika pemerintah melakukan ini, maka warga PIK di situ justru malah tertekan dan hancur daya belinya karena pajak yang besar. UMKM yang menjual makanan di situ juga jadi bingung dan dirugikan, kok tiba-tiba daya belinya lesu? Kok biasanya saya jual siomay 100 ribu laku keras, kok sekarang dijual rp 50 ribu saja sepiring susah laku? UMKM di sana akan bingung dan akan terus menurunkan harga karena daya beli yang hancur dan akhirnya pedagang siomai itu harus menurunkan harga sampai ke rp 25 ribu sepiring, barulah penjualannya bisa normal. Memang betul, inflasi akan turun dengan cara seperti ini, tapi caranya menurut saya keliru karena yang dilakukan adalah menghancurkan daya beli. Yang lebih ironis lagi sebenarnya adalah ketika pemerintah berhasil menurunkan harga siomai ke rp 25 ribu di PIK, pemerintah mengklaim itu sebagai prestasinya menurunkan inflasi padahal kalau anda paham cerita ini, ini bukanlah sebuah prestasi, tapi sebuah kesalahan. Warga PIK sama sekali tidak membutuhkan intevensi pemerintah untuk menurunkan harga siomai ke rp 25 ribu karena sejak awal mereka tidak pernah mempermasalahkan harga siomai yang rp 100 ribu itu. Demikian juga, UMKM di sana juga pasti akan marah besar karena daya beli turun, keuntungan mereka berkurang, dan dagangan mereka tidak laku. Sangat ironis sebenarnya jika yang berkepentingan menganggap ini sebagai sebuah prestasi
Analogi harga siomai di PIK di atas itulah yang sebenarnya menurut saya terjadi sekarang di Indonesia ini. Deflasi 5 bulan berturut-turut ini terjadi menurut saya karena salah paham soal inflasi. Menghancurkan inflasi sampai ke 2% atau malah sampai deflasi dengan cara menghancurkan daya beli itu jelas bukanlah sebah prestasi, tetapi menurut saya itu sebuah kekeliruan. Menurut Robert Pollin, seorang profesor ekonomi terkemuka di Universitas Massachusetts Amherst sekaligus direktur Political Economy Research Institute (PERI), [1] dan juga Hanae Bouazza, seorang siswa PhD ekonomi di Universitas Massachusetts Amherst,[2] justru ekonomi sebuah negara akan tumbuh secara optimal ketika inflasi ada di range minimal 4%-5%, bahkan paling optimal ketika ada di range 5%-10%, bukan 2%.[3] Menurut mereka, justru target inflasi 2% malah merusak pertumbuhan ekonomi.[4]
Berdasarkan gambar di atas yang merupakan hasil penelitian Robert Pollin dari dengan mengambil sampel pertumbuhan GDP berbagai negara dari tahun 1960-2021, di situ bisa terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi paling maksimal terjadi ketika inflasi ada di angka 5%-10%, sedangkan jika memang terlalu takut dengan inflasi 5%-10%, setidaknya angka inflasi terbaik ada di angka 2.5%-5% yang menghasilkan pertumbuhan rata-rata setidaknya 4.1%. Justru kinerja terburuk pertumbuhan ekonomi sebuah negara ketika inflasi berada di range 2% atau lebih rendah dari 2%.
Inilah yang dimaksudkan salah paham soal inflasi. Ketika inflasi yang sebenarnya bagus tapi ditafsir buruk oleh pemerintah, maka yang terjadi adalah salah langkah yang justru malah menghancurkan daya beli masyarakat. Deflasi 5 bulan beruntun di Indonesia, menurut hemat saya, terjadi karena misinterpretasi soal inflasi. Menurunkan inflasi ke 2% atau bahkan sampai deflasi dengan cara menghancurkan daya beli masyarakat seharusnya itu bukanlah prestasi, tetapi sebuah kesalahan.
Ketika Indonesia inflasinya baru naik sedikit 5%, pemerintah kita langsung bereaksi berlebihan dengan langsung menanggapinya dengan memperbanyak berbagai macam pajak dan iuran termasuk juga dengan menaikkan suku bunga dengan tujuan agar daya beli masyarakat jatuh sehingga inflasi bisa tercapai ke 2%. Langkah ini tidak tepat. Jika anda membaca periode inflasi negara China yang terjadi di zaman Deng Xiaoping pada tahun 1978-1994 di mana saat itu pertumbuhan rata-rata ekonomi China itu 10% per tahun,[5] maka anda boleh perhatikan tingkat inflasi negara China itu pada tahun 1978-1994 itu tinggi semua. Misalnya jika anda membuka data inflasi China tahun 1987-1994 (sayangnya saya tidak menemukan data inflasi dari tahun 1978),[6] maka anda akan menemukan rata-rata inflasi China ada di angka 11% per tahun!!!
Jadi apakah inflasi rata-rata China ada tahun 1987-1994 yang rata-rata 11% per tahun itu berbahaya bagi China?? Tidak sama sekali!! Justru itu menjadi tanda bahwa ekonomi China sedang booming dan meledak. Deng Xiaoping menyadari kesalahpahaman di antara ekonom barat soal inflasi dan Deng Xiaoping berani untuk tidak takut menghadapi inflasi selama bukanlah hiperinflasi. China tidak akan pernah bisa sampai sekarang jika Deng Xiaoping itu saat itu ketakutan dengan inflasi 11% per tahun dan langsung membantai daya beli dengan menaikkan pajak di mana-mana, sudah pasti jika Deng Xiaoping melakukan itu, tidak akan pernah ada China yang sekarang!!
Inilah menurut saya pribadi, sumber kenapa Indonesia bisa deflasi 5 bulan berturut-turut, yaitu sebuah pemahaman yang keliru bahwa inflasi 2% bisa membawa pertumbuhan ekonomi yang dashyat, sedangkan inflasi 5%-10% adalah sesuatu yang berbahaya yang harus dijinakkan sesegera mungkin (sesuatu yang tidak dilakukan oleh Deng Xiaoping).
Jika Indonesia terus menerus menerapkan kebijakan target inflasi harus 2%, maka sangat sulit rasanya jika Indonesia bisa mengejar China dan juga bahkan India (inflasi India saat ini tercatat 5.49% dan pemerintah India tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang harus dijinakkan ke 2%). Bukan hanya sangat sulit, tapi sepertinya itu hanya sekedar mimpi.
CATATAN KAKI
1. University of Massachusetts Amherst. "Robert Pollin: Co-Director of the Political Economy Research Institute
Distinguished Professor of Economics". University of Massachusetts Amherst. Diakses 18 Oktober 2024.
2. Political Economy Resarch Institute. "Hanae Bouazza". Political Economy Resarch Institute. Diakses 18 Oktober 2024.
3. Robert Pollin dan Hanae Bouazza. "Two Percent Inflation Targeting Harms Growth: Research shows that economies perform better at modestly higher inflation rates.". The American Prospect. Diakses 18 Oktober 2024.
4. Robert Pollin dan Hanae Bouazza. "Two Percent Inflation Targeting Harms Growth: Research shows that economies perform better at modestly higher inflation rates.". The American Prospect. Diakses 18 Oktober 2024.
5. Alvin Rabushka. "The Great Tax Cut of China". Hoover Digest. Diakses 18 Oktober 2024.
6. Macro Trends. "China Inflation Rate 1987-2024". Macro Trends. Diakses 18 Oktober 2024.
SUMBER:
ARTIKEL EKONOMI LAINNYA:
MY SITES:
JASA PENULIS LEPAS:
- Artikel original 300 kata: Rp 50.000
- Artikel original 400 kata: Rp 60.000
- Artikel original 500 kata: Rp 70.000
- Artikel original 600 kata: Rp 80.000
- Artikel original 700 kata: Rp 90.000
- Artikel original 800 kata: Rp 100.000
- Artikel original 900 kata: Rp 110.000
- Artikel original 1.000 kata: Rp 120.000
JASA MENERJEMAHKAN ARTIKEL:
- Inggris ke Indonesia: Rp 25.000/ 100 Kata
- Indonesia ke Inggris: Rp 30.000/ 100 Kata
- Mandarin/ China ke Indonesia: Rp 35.000/ 100 Kata
- Indonesia ke Mandarin/ China: Rp 40.000/ 100 Kata
- Mandarin/ China ke Inggris: Rp 40.000/ 100 Kata
- Inggris ke Mandarin/ China: Rp 45.000/ 100 Kata
WHATSAPP: +6289646415350
#ekonomi #deflasi #inflasi #pajak #pertumbuhanekonomi #penulis #penerjemah #blog #blogger #willyamwen
0 Comments